Jatuh Cinta Sendirian 1 (CERPEN)


Jatuh Cinta Sendirian
Nur Annisa
Bahagia itu sederhana. Saat kita bisa melepas rasa sakit dan menderita. Bahagia itu sederhana. Saat kita mampu menerbangkan segala kesedihan merubahnya menjadi senyum dan tawa. Dan kebahagiaan itu sederhana. Saat keyakinan kita akan sebuah cinta dan jadi alasan untuk bertahan. Bertahan untuk tersenyum, bertahan untuk menyimpan rasa dalam diam dan bertahan untuk hidup.
Diam? Ya, dalam diam. Perasaan kagum ini tumbuh. Dan perlahan berkembang menjadi sebuah cinta. Cinta yang sederhana. Sesederhana hatiku memilih kamu, Ikhsan. Dan sesederhana aku menyimpan rasa ini dalam heningku. Rasa yang tak pernah hilang, dan dan pergi sesukanya, yang dapat mendatangkan rindu. Mencintaimu dalam diam….Bagaikan pungguk merindukan rembulan. Tapi, bukankah cinta itu tidak harus memiliki dan tidak harus terikat?
Ikhsan, sahabatku sekaligus nama istimewa yang terdapat jauh di lubuk hatiku. Laki-laki penyabar, pintar, dan luar biasa. Laki-laki yang selalu membuatku tertawa dengan segala gurauan yang dia punya. Aku mencintainya, tapi dia mencintai perempuan lain. Elsa. Yang jauh lebih baik dari Aku (katanya)
*****
            Seni Rupa. Kegiatan sekolah yang aku ikuti setiap dua kali seminggu. Disitulah Aku dan Ikhsan bertemu. Di dalam sebuah ruangan kecil penuh dengan lukisan-lukisan yang indah. Tepatnya awal semester satu kita bertemu. Dan aku mengenalnya tanpa sengaja lalu mendekatinya dari jutaan hal kecil. Sampai saatnya sekarang kita saling mengenal bahkan menjadi sahabat. Ya, sahabat. Tempat Ikhsan mencurahkan semua isi hatinya tentang elsa. Perempuan yang menurutnya cantik yang selalu menjadi nomor satu di hatinya. Perempuan yang Ikhsan anggap sebagai perempuan yang lembut sehingga dia jatuh cinta dengan sangat dalam.
            Aku mencintai Ikhsan dengan segala yang ada pada dirinya. Cinta ini tumbuh karena seni. Rasa ini benar-benar seperti seni yang terus mengalir tanpa harus berfikir. Aku jatuh cinta pada Ikhsan saat seni mempertemukan kita.Aku ada disana, kau ada disana. Tertawa bahagia.
            “Oh ya Nis, kalau aku piker-pikir dan liat lebih dalam lagi, kamu sama Elsa itu banyak kesamaan. Rambutnya, bibirnya, peseknya. Dan kalian berdua sama-sama pakai kacamata”. Kata Ikhsan dengan gayanya yang santai.
            “Oh ya sifatnya juga sama. Cuek, nyebelin tapi asik, suka teriak-teriak gak jelas gitu deh, dan sama-sama ngegemesin”. Tambahnya. Aku hanya terdiam. Kenapa jika kita banyak kesamaan, justru dia memilih elsa. Bukankah kita sama?
            “Tapi ada satu yang beda , Nis. Hmmm”. Ikhsan menggantungkan perkataannya.
            “Apa?”. Kataku singkat.
            “Kamu mau tau aja atau mau tau banget?”. Ledeknya.
            “Mau tau ajalah. Iya kali aku mau tau banget. Se-kepo itukah aku? Hah?”. Tukasku.
            “Dih Annisa ngambek. Hidungnya makin pesek tuh kalau ngambek”. Ledeknya lagi.
            “Ih apaan sih, Ikhsan. Bilangin Elsa loh kalau kamu godain aku terus”. Kataku geram.
            “Emang aku godain kamu?”. Tanyanya.
            “Heem”. Jawabku mengangguk.
            “Emang kamu mau banget ya digodain sama Ikhsan Fahrezzi hmm?”Katanya dengan muka meledek, lagi.
            Aku hanya diam. Sebenarnya aku bahagia di moment ini. Hanya aku tak pandai mengekspresikan kebahagiaanku yang sederhana ini. Aku tak punya keberaniaan untuk mengungkapkan semua. Keberaniaanku padam, seketika.
            “Kok diem sih? Oh atau kamu emang bener mau digodain sama aku/ iya kan? Ngaku aj, jujur , Nis. Aku bakal dengan senang hati godain kamu dengan segenap jiwa dan ragaku. Sini, sini”. Tukasnya. Ikhsan mendekati aku. Wajahnya sangat dekat. This guy is totally georgeous! Matanya indah banget. Ya Tuhan, kupu-kupu di dadaku bangkit dan menari. Seandainya aku punya remote waktu, aku ingin pause kejadian ini. Terus screen capture dan aku save di hidup aku. Biarin aku dan Ikhsan berhenti di moment ini, di waktu ini. Dekat dengannya, bahkan sangat dekat. Seperti tak ada jarak diantara kita berdua. Seketika semua terasa hening. Air menggantung pada daun seperti sebuah berlian. Diam. Bukan sekedar jeda, lebih seperti perasaan ketika semua di sekeliling aku berhenti bergerak.
            “Ayo loh kamu suka sama aku kan?”. Katanya.memecahkan jeda yang indah.
            “Sotoy”. Kataku singkat.
            “Mata nggak bias bohong loh , Nis.” Katanya bangga, seolah pernyataannya benar. Tapi memang benar aku menyukainya, bahkan mencintainya.
            “Tuh kan diem lagi, berarti bener kan?” Sahutnya dengan mencubit hidungku.
            “Ih apaan sih ting sakit tau” Tukasku berusaha melepas cubitannya.
            “Panggil aku apa tadi? Ting?” Tanyanya.
            “Iting. Rambut kamu kan keriting kayak domba jadi pantes dong disebut I-Ting” Jawabku
            “What the hell? Dasar pesek, sini aku cubit lagi”
            “Nggak bisa, nggak bisa” Kataku sambil melarikan diri.
            “Pasti bisa sini, sini” Kata Ikhsan sambil berusaha mengejarku.
            “Nah kan dapet, sini aku cubit”
            “Nggak, Awww sakit Iting” Ikhsan meraih pundakku, lalu mendorongku lebih dekat dengannya.
            Kita berdua tertawa lepas dan berpelukan. Seandainya aku dapat mengendalikan kehidupan. Aku cumin punya tiga permintaan. Menghentikan waktu, mempigurakan senyum Ikhsan, dan hidup berdua dengan Ikhsan. Biarlah yang lain sibuk dengan urusannya sendiri, yang terpenting hanya aku dan kamu. Titik! Lupakan Elsa.
*****
            Hari berganti hari. Tapi perasaanku pada Ikhsan tak pernah berubah. Aku mencintai segala yang ada pada diri Ikhsan, sehingga saat nampak kekurangannya aku sangat bergairah untuk melengkapinya. Tapi aku pernah berpikir, munhkinkah aku adalah wanita bodoh yang pernah mencintai Ikhsan. Mencintai hati yang tak pernah mencintaiku sama sekali. Tapi aku tak pernag menyesal apalagi mengeluh. Ingat! Cinta itu tak  perlu  memiliki.
            Sudah tiga hari ini aku tidak bertemu  Ikhsan. Aku tidak melihatnya duduk di koridor setiap pagi. Aku tidak melihatnya berdiri di ambang pintu setiap jam istirahat. Kemana Ikhsan? Dia tak memberitahuku apa yang terjadi pada dirinya. Tak ada satupun SMS-ku yang dia balas. Bahkan aku meneleponnya pun masih dia hiraukan. Padahal aku merindukan bawelnya yang riang itu. Aku merinukan gurauannya yang selalu membuat kupu-kupu di dadaku menari. Aku merindukan rambut keritingnya, mata pandanya, senyum kecilnya yang manis dan pelukannya yang hangat.
            “Elsa tunggu!” kataku seraya menghampiri Els.
            “Apa?” Tanyanya dengan wajah judes yang membuat keriput di wajahnya, seperti nenek-nenek.
            “Kamu tahu nggak Ikhsan kemana?” Tanyaku.
            “Ngapain kamu nanyain dia? Emang kamu siapanya dia?” Elsa balik bertanya padaku. Wajahnya seketika berubah. Seperti marah padaku.
            “Aku kan sahabatnya, jadi aku berhak tau tentang dia dong” Jawabku.
            “Penting banget emang kamu harus tau?” Tanya Elsa dengan matanya yang hamper keluar.
            “Biasa aja dong matanya! Aku nanya baik-baik, kenapa kamu jadi sewot begitu” Kataku dengan nada suara yang sudah hamper meninggi.
            “Aku kayak gini sama kamu karena aku benci sama kamu. Ikhsan lebih milih ngabisin waktu bareng kamu daripada sama aku. Aku nggak suka. Jadi aku mohon, jauhin Ikhsan. Aku sayang sama dia” Tukasnya.
            “Kamu nggak punya hak buat bikin aku jauh dari Ikhsan. Ikhsan fine-fine aja kok deket sama aku, dia nggak masalah” Kataku.
            “Aku nggak mau tahu, yang penting kamu jauhin Ikhsan. Atau aku bakal bikin hidup kamu jadi nggak tenang.” Katanya mengancamku.
            “AKU SA-HA-BAT-NYA, orang yang jauh lebih mengerti Ikhsan. Aku nggak pernah larang-larang Ikhsan buat jauh dari ini itulah. Sedangkan kamu? Baru jadi pacarnya aja udah kayak gini, gimana nanti kalau udah nikah. Ih jangan sampe deh pokoknya. Kamu tau apa yang kamu perjuangkan? Bukan cinta tapi obsesi kamu, Elsa.” Kataku panjang lebar.
            “Terserah! Aku nggak mau tahu, yang penting kamu jauhin Ikhsan” Katanya.
            “Lancang kamu ya. Emang kamu siapanya aku? Ngatur hidup aku seenaknya. Kamu bukan Ibu aku, kamu bukan siapa-siapa. Segitu terobsesinya kamu sama Ikhsan, sampai-sampai kamu nyuruh aku yang sahabatnya buat ngejauhin dia.” Kataku.
            Elsa terdiam sebentar lalu dia berlalu meninggalkanku. Tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Apakah ucapanku telah mengalahkan keras hatinya? Semoga. Jika aku harus menyimpulkan, perkataan Ikhsan tidak benar. Elsa, tidak lebih baik dari Aku. Dia hanya terobsesi pada Ikhsan, tapi Ikhsan belum mampu memahaminya. Benar apa kata Ibuku, Love Is Blind. Terkadang manusia dikalahkan oleh rasa cinta yang egois. Jadi dia tidak bisa melihat bagaimana keasliaan orang yang dia cintai.
            Ikhsan, semoga kamu cepat sadar. Apa yang kamu lihat tidak nyata. Tak ada kebaikan dan cinta pada Elsa. Dia hanya terobsesi, karena kamu sangat indah. Semoga waktu cepat membukakan matamu yang buta akan cinta itu.
*****
            “Ikhsan kamu kemana aja? Kenapa kamu nggak masuk sekolah tiga hari hah? Aku khawatir tau. SMS nggak dibales, telepon nggak diangkat, Aku mention ke twitter kamu pun cuma dibaca aja, BBM dari aku cuman di read doang” Keluhku pada Ikhsan melalui video call pada skype. Kali ini bukan aku yang menghubunginya, tetapi dia. Ikhsan.
            “Segitu perhatiannya kamu ke aku, sampai-sampai kamu pengen banget aku bales semua yang kamu kirim ke aku” Ledeknya.
            ‘Ih apaan sih Iting GR banget kamu. Aku cumin aneh aja… ya aneh.”
            “Aneh kenapa hayo? Pasti kamu aneh karena pas aku nggak masuk sekolah, kamu ngerasain rindu yang sangat dalam. Ya kan?” Katanya menggodaku.
            “Apaan sih ting, emangnya kamu mau banget ya dikangenin sama perempuan yang paling cantik sejagad raya, alam semesta sampai luar angkasa ini” Balasku.
            “Luar angkasa? Kamu alien dong hahaha.” Dia tertawa. Aku terdiam aku memandangi Ikhsan dari layar handphoneku.
            “Alien peseknya cemberut. Senyum dong, bibirnya jangan dikeritingin gitu. Nanti idung peseknya terbang ke mars lho.” Ledeknya lagi.
            “Ya abis kamunya jahat sih. Masa aku cantik begini dibilang alien, dibilang pesek pula. Coba kamu liat dari pinggir deh, idung aku itu mancung tiiiing.” Kataku cemberut.
            “Tapi kalu dari depan pesek, Nis.”
            “Au ah”
            “Yaaaaah alien peseknya marah, jangan marah dong. Senyum dikit deh.” Dia tersenyum. Sangat manis dan indah. Entah berapa lama aku tidak melihat senyum itu. Aku dibuat lulu oleh senyumnya. Aku ingin tersenyum juga, tapi tidak bisa.
            “Kamu beneran marah nih? Aku tutup aja deh daripada kamu makin marah. Dadah pesek, sampai ketemu besok.” Ikhsan mengakhiri pembicaraannya.
            Aku sedikit lega mendengar suaranya tadi dan menatap mukanya yang indah. Walau hanya dibalik layar handphone. Itu sudah lebih dari cukup untukku dan mengurangi rasa rinduku yang menelusup dalam gerak pelan akhir-akhir ini.
*****
            Lagi-lagi seni rupa lah yang selalu mempertemukan kita. Dua kali dalam seminggu belum cukup rasanya untuk bersama dengan Ikhsan lebih lama. Biasanya di hari selasa kita hanya menghabiskan waktu tiga jam dan di hari sabtu kita menghabiskan waktu lima jam sampai malam. Dan sekarang adalah hari sabtu, itu tandanya waktu aku untuk bersama Ikhsan akan lebih lama. Ya, lama.
            “Nis, kalau dikasih pilihan orang yang mengumbar-ngumbarkan cintanya dan orang yang mencintai kamu diam-diam, kamu bakal pilih yang mana?” Suara Ikhsan terdengar jelas ditelingaku saat aku sedang memoles lampionku dengan lem.
            “Kalau aku sih nggak pilih keduanya.” Kataku.
            “Alasannya?”
            “Alasannya adalah aku nggak suka sama orang lebay yang suka mengumbar-ngumbarkan perasaannya. Dan untuk pilihan yang kedua, darimana kita tahu kalau orang itu mencintai kita dalam diam? Kalau kita menerka-nerka bisa aja kita salah dan itu namanya sotoy.” Kataku.
            “Terus kalau kamu disuruh pilih, kamu bakal pilih pacar atau sahabat kamu?”
            “Tentu aku bakal milih sahabat aku, karena sahabat itu adalah segalanya. Terkadang dia mengenal kita lebih jauh daripada kita atau pacar kita. Emangnya kenapa sih kok tiba-tiba kamu ngasih aku question of life begini?”
            “Ya nanya aja , Nis. Sekarang ada dua perempuan dihadapanku dengan perasaannya yang berbeda. Kayak yang udah aku bilang tadi. Tapi aku yakin aku nggak sotoy, aku yakin kalau yang satu benar-benar cinta sama aku. Tapi dia menyimpannya dalam diam. Matanya bebicara, seakan dihatinya benar-benar ada cinta” Kata Ikhsan sambil memoleskan warna pada lampionnya yang tak beraturan.
            Ya Tuhan, apakah itu aku. Aku mencintainya, dalam diamku. Dan aku sahabatnya. Apakah dia tahu bahwa aku benar-benar mencintainya. Apakah mataku berbicara seolah ada cinta yang tersembunyi pada seonggok celah kecil di hati ini. Semoga bukan aku. Aku tidak ingin mengacaukan perasaan ini. Jatuh cinta yang paling indah di dunia. Tanpa harus tersakiti, tanpa harus memiliki. Jatuh cinta sendirian.
            “Oh ya, Nis. Kalau dikasih pilihan lagi kamu akan melakukan hal yang mana, mengumbar-ngumbar perasaan atau jatuh cinta sendirian?” Tanya Ikhsan.
            “Aku lebih memilih jatuh cinta sendirian. Karena menurut aku itu adalah perasaan yang luar biasa hebat. Kita tak perlu menangis karena tersakiti, kita tak perlu menyesal, dan yang pasti kita tak akan pernah merasakan penderitaan cinta. Walaupun jatuh cinta sendirian itu menderita juga, tapi penderitaan yang kita rasakan tidak separah saat kita memiliki orang itu. Kita harus siap mental untuk melihat orang yang kita sayang bersama dengan kekasihnya. Tapi meskipun begitu, menurutku itu perasaan yang ajaib”. Kataku.
            “Apa kamu sedang merasakannya?” Tanya Ikhsan heran.
            “Iya, sejak lama.” Kataku.
            Kami menciptakan jeda begitu lama. Ikhsan terdiam dan memperhatikan lampionnya yang sudah tidak beraturan. Begitupun aku, aku terdiam sangat lama. Sekelilingku juga seperti berhenti bergerak. Semua diam saat aku dan Ikhsan terdiam.
            “Annisa, don’t choose or fall in love with the better guy. Choose the guy that’s gonna make you better, girl” Bisiknya sambil meraih tanganku.
            “Aku udah pilih laki-laki yang buat hidup aku lebih baik, Ikhsan. He always make me better, everytime.” Kataku. Ikhsan tersenyum, masih sangat manis.
            Ikhsan.
            You it’s the guy that’s make me better. Always. Meskipun aku mencintaimu dalam diamku dan menikmati perasaan ini sendirian.
*****
            Untukku, cinta tidak harus saling memiliki, cinta tidak harus terikat. Karena cinta yang sebenarnya adalah cinta yang bermekaran di hati. Hanya kita yang merasakannya. Tak perlu rumit.
            Jatuh cinta sendirian, mencintaimu dalam diam… Hanya dalam untaian do’a ku namamu ada dan kusapa dirimu. Aku tak akan pernah merasa lelah, lelah menyayangimu meski dalam diam. Aku tak akan pernah berhenti mengukir namamu di hati.
            Jatuh cinta sendirian, perasaan yang ajaib dan luar biasa. Tak ada orang lain yang mengetahuinya. Cukup Aku, Hatiku, dan Tuhanku. Semua ini sudah membuatku merasa bahagia. Tak akan ada kata mantan dalam hidup kita, Ikhsan. Untuk kamu, laki-laki yang selalu menggetarkan hatiku. Terimakasih, kamu telah menggoreskan warna yang indah dalam cinta yang aku sembunyikan ini.


Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana ku Tak Jatuh Cinta

Kebersamaan Yang Tiada Akhir