Arah Kisah Kita (CERPEN)

"Bintangnya indah ya" kataku.
"Iya, indah. Aku jadi ingin menghitungnya." katanya sambil tersenyum manis.
"Kamu tau nggak, kalau kamu sibuk menghitung bintang, kamu bakal kehilangan bulan"
"Aku gak akan kehilangan bulan" timpalnya dengan santai sembari senyum menantangku.
"Kenapa?" aku mencoba mencari tahu.
"Aku gak percaya kalau bulan bisa menghilang. Karena bulan itu ada disisiku. Aku gak percaya kalau dia bisa menghilang" Farhan menyeringai mendekapku ke pelukannya. Seperti beberapa bulan yang hilang.

Aku tersenyum sambil menikmati peluknya yang hangat yang sangat aku rindukan. Kutatap matanya yang sayu menerawang jauh dalam silau terang bulan.

"Kamu belum pernah ya lihat bintang sama bulan diatas gunung?" Tanyanya.
"Belum, mangkanya kamu ajakin aku naik gunung. Aku pengen banget rasain gimana rasanya naik gunung" Jawabku.
"Yaudah, nanti aku ajakin kamu naik gunung buat lihat bulan dan bintang yang lebih indah dari ini"
"Kamu serius?"
"Iya, tapi aku gak bisa janjiin kamu sampai ke puncak ya. Kamu tau kan kondisi aku seperti apa dan aku tau kondisi kamu seperti apa."

Aku hanya mengangguk pelan sambil terhanyut dalam peluknya yang begitu asing. Berapa lama aku tak merasakan pelukan ini. Aku sangat rindu.

*****

Waktu itu aku kira perkataannya memang benar, bahwa dia tidak akan pernah kehilangan bulan. Dia tidak pernah kehilangan bulan, karena bukan bulan yang sengaja menghilang agar dirindukan, bulan selalu berusaha untuk selalu berada disisinya tapi dia seolah menjauh, seolah tak ingin bulan terus berada dibawah naungan nafasnya. Aku memang tak punya hak untuk terus menerus menahan dia bersamaku. Aku hanya serpihan kisah dimasa lalunya yang terus ingin menetap dan tak ingin kehilangannya. Namun aku tak akan memaksanya seperti ini, jika dia tidak memberiku harapan untuk tetap terus bersama.

"Al, kamu kenapa?" Tanya Farhan. Diujung telepon. Aku hanya diam, aku bingung apa yang aku rasakan dan aku bingung apa yang harus aku utarakan. "Ya ampun Alisa, kamu kenapa diem? Kamu bilang sama aku kenapa, Al?"
"Kamu tau apa yang lebih menyakitkan daroi menunggu dan meninggalkan? Ketika kita gak tau harus menunggu atau meninggalkan"
"Untuk aku? Maaf, Alisa. Aku gak bermaksud untuk memberimu harapan yang berlebih. Aku sayang kamu, Alisa. Apa yang bisa aku lakukan untuk kamu?"
"Mungkin kamu sudah tau apa keinginan aku, Han. Tapi kayaknya mau diusahakan pun kamu gak bisa" kataku. Perlahan sesuatu yang sudah kutahan sedari tadi turun juga. Ia sangat deras kali ini.
"Bukan aku gak mau mengusahakan, tapi aku gak bisa menjamin semuanya kayak dulu" kudengar Farhan terisak diujung telepon.
"Makasih ya, Farhan. Aku tutup teleponnya ya Farhan"
"Jangan dulu, Al. Kamu bilang mau kamu apa?"
"Aku cuman mau kita kayak dulu Farhan"
"Al, jujur ya, sebenarnya aku mau kita kayak dulu, tapi untuk sekarang aku gak tau kenapa pengen bebas dari yang namanya perasaan. Meskipun aku laki-laki tapi aku lagi mencoba belajar dari rasa sakit hati yang amat teramat sakit yang pernah aku rasain dan pernah aku kasih ke orang lain, agar aku gak mengulangi kesalahan." Katanya. "Bukan aku gak mau, Alisa" tambahnya. 

Aku hanya bisa diam. Aku bingung apa yang harus aku katakan. Aku kecewa karena apa yang terjadi hari ini tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.

"Diposisi kayak gini kamu punya opsi lain gak? Tapi tetep aku sama kamu masih bisa deket"
"Terserah. Aku gak akan maksa yang gak mau" kataku.
"Nunggu waktu gimana? Aku butuh waktu dan untuk sekarang kita jalani dulu, Al."
"Oke, liat aja nanti"

*****

Setelah percakapan itu kita memang dekat namun tak pernah bisa sedekat nadi seperti dahulu. Dia selalu ada untukku, tapi dia tidak bisa menjadi apa yang aku inginkan. Percakapan-percakapan diantara kita pun tak pernah bisa sehangat dahulu. Kukira perkataannya benar, jalani saja dulu. Tapi seiring berjalannya waktu dia justru berubah menjadi sosok yang tak ku kenal. Meskipun aku sudah merubah diriku menjadi lebih baik tetap saja aku selalu disalahkan. Dan kemarin kita bertengkar, dia bilang aku sama saja, tidak berubah, dan pada akhirnya kita menjadi sejauh matahari sekarang.

"Alisa, sampai kapan kamu kayak gini? Sampai kapan kamu mempertahankan perasaan kamu untuk Farhan?" Pertanyaan Arin, sahabatku menyentakkanku dalam lamunan panjang. Mana mungkin aku mengatakan alasan yang sebenarnya.
"Sayang tuh gak bersyarat. Overall, karena dia baik sama aku."
"Baik? Kalau dia baik dia gak butuh kesempatan kedua, Al. Apalagi kesempatan ketiga, keempat, kelima, dan kesempatan-kesempatan lainnya." Ucapannya menyentakanku lagi. Keningku mengkerut. Kugigit bibirku sedikit. Perkataan Arin memang benar tapi aku punya alasan untuk tetap bertahan.
"Al, kalau dia tahu rasanya dikecewakan, seharusnya dia lebih tau bagaimana caranya menghargai pengorbanan seseorang. Kamu udah berkorban banyak untuk dia, Al. Tapi dia gak pernah menghargai pengorbanan kamu, Al."
"Makasih ya, Arin. Bukannya aku gak mau denger apa kata kamu, tapi aku punya kuasa untuk memilih. Aku punya alasan mengapa aku tetap bertahan. Aku punya pilihanku sendiri, Rin"

******

Malam ini adalah jawaban dari semua pertanyaanku selama beberapa hari ini. Aku dan Farhan kini berakhir dalam diam. Tak pernah ada ucapan selamat tinggal dari mulutnya. Dia meninggalkanku begitu saja setelah yang indah dan menyenangkan. Bukan bulan yang hilang, tapi Farhan yang sengaja meninggalkan bulan. Ucapannya pada saat itu seolah menjadi kalimat penenang saja. Kalimat untuk menenangkan sang bulan agar tidak hilang sehingga Farhan bisa pergi sesuka hatinya.

"Kamu mau lihat bintang, Al?" Bibir Mas Fasya bergetar diiringi suara serak yang menawan. Aku memeluknya. Rasanya hangat. Lama tidak pernah bisa memghabiskan waktu berdua dengannya semenjak Farhan hadir dihidupku.

"Lihat, Al! Itu segitiga bintang musim panas. Itu vega, deneb, dan altair. Ketiga bintang itu merupakan gagasan legendaris yang dalam bahasa jepang disebut Ginga. Untung malam ini mati lampu jadi kita bisa melihat dengan mata telanjang rasi bintang malam ini." Katanya sambil terus memandangi langit.
"Itu bintang apa mas?" Aku menunjuk salah satu rasi bintang yang menurutku sangat indah.
"Yang itu rasi bintang Cygnus atau angsa dan yang itu salib selatan atau Crux dan yang itu Kalajengking. Terus kamu lihat segitiga yang satunya lagi itu adalah Mars, Saturnus, dan bintang raksasa merah Antares yang juga membentuk segitiga." Jelasnya. Aku jatuh cinta cara kakakku menjelaskan tentang bintang-bintang itu. Ia sangat menyukai bintang tapi ia tak pernah lupa bahwa yang ia cintai adalah bulan. Karena bintang tidak akan pernah bersinar jika tidak ada bulan. Oleh karena itu Mas Fasya tak pernah kehilangan orang yang ia cintai karena terlalu sibuk dengan orang lain. Ia selalu tahu hatinya milik siapa.
"Mas Fasya perhatikan gak? Kalau bintang di bulan Agustus itu selalu lebih indah dari bulan lainnya." Aku tersenyum seraya melepas diri ini.
"Bintang mana yang kamu sukai, Al?"
"Polaris. Dia bintang utara paling terang di rasi ursa minor. Bintang itu melambangkan keinginan dan harapan yang kuat untuk mencapai sesuatu. Posisinya selalu disebelah utara dan posisinya tidak akan tergantikan. Karena dia tidak pernah meninggalkan langit, dan dia ada sebagai petunjuk."
"Seperti Farhan? Dia polaris dikehidupan kamu, karena posisinya tak akan pernah tergantikan kan? Berapa banyak laki-laki yang kamu tolak hanya untuk mempertahankan kepercayaannya dia yang tidak memperdulikanmu, Al. Jadi, apa dia bintang polaris mu, Al?" Matanya menanti jawaban.

Aku hanya diam. Pikiranku melambung tinggi ke angan yang terang walau sesungguhnya gelap. Tak perlu aku jawab, dia sudah tau jawabanku adalah 'iya' . Namun aku tak ingin mengatakannya. Karena aku tahu, dia menyayangiku dan tak ingin aku terus memikirkan Farhan apalagi bercerita banyak tentangnya lagi.

Perlahan angin agustus membelai tubuhku yang mulai menggigil. Namun memberikan ketenangan pada jiwa yang sebenarnya rapuh. Tapi kini aku merasa menjadi wanita yang sangat kuat. Tersenyum saat bersedih. Tersenyum saat mengingat hal menyakitkan dalam hidupku yang tak pernah bisa aku lupakan seumur hidupku.

*****

Aku pernah berpikir untuk pergi dan berhenti. Seringkali aku berniat untuk mundur, menyerah, dan pasrah. Bahkan, aku ingin mencari penggantimu namun apa daya aku hanya mencintaimu. Ada yang berbeda disini. Kamu tidak tahu hari-hari penuh ketakutan yang aku lewati tanpa membaca pesan darimu. Kamu tidak mengerti hari-hari yang kurasa semakin sepi karena tidak melihatmu tersenyum dalam beberapa waktu.

Aku sadar dan teramat sadar akan arti perjalanan kisah kita. Terlalu indah jika hanya harus dilepaskan lalu dilupakan demi sebuah keegoisan. Tapi bagaimana arah kisah kita? Apakah sudah berakhir atau masih harus kujalani. Tunjukan aku arah menuju akhir kisah ini. Kamu sudah tak lagi menyapaku, kamu sudah melupakanku secara perlahan. Membunuhku dengan segala ketidakpastian. Jika arah kisah kita menuju akhir yang tidak pernah kubayangkan. Tolong datanglah dan ucapkan apapun. Karena perpisahan tanpa kata-kata sangat menyakitkan.

Kita indah, Farhan, teramat sangat. Tetaplah menjadi polaris dihatiku meskipun angin kencang terus membuatmu dingin, meski angin kencang membuatmu gamang. Selalu ada harapan meski tak sepenuhnya dapat aku dapatkan.

Aku akan tetap disini menjadi bulan yang menyinari bintang-bintang. Agar malammu tak kelam, agar kau bisa menghitungnya, agar aku selalu berada disisimu meskipun bintang-bintang yang lebih kau utamakan. Aku akan terus menjadi bulan, sampai kau percaya bahwa bulan bisa menghilang karena kau sibuk menghitung sang bintang.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bagaimana ku Tak Jatuh Cinta

PROTES KERAS TERHADAP PENIPUAN YANG MENYALAHGUNAKAN KARTU IDENTITAS SAYA

Kebersamaan Yang Tiada Akhir