Titik Warna Keindahan (cerpen)



Titik Warna Keindahan
Nur Annisa
  A
ku mengerahkan rasa yang aku punya pada ujung jemari ini. Membuatnya menari bersama hujan yang turun menyapa bumi. Terkadang hujan tak selalu mengantarkan rindu. Terkadang dia mengantarkan tetesan-tetesan yang memukul dinding masa lalu. Yang sempat membawaku dalam jurang yang tak bisa kupanjat lagi. Tepat dua tahun silam setelah kematian Radith  membuatku enggan kembali menarikan pensil-pensil warna yang selalu menghiasi kertas putihku ini. Setiap kali aku melihat pensil warna, kuas, buku gambar, dan pensil milik Radith, air mata ini tak dapat ku bendung lagi. Semua itu yang membuat Radith pergi tepat dua tahun yang lalu. Kepergian yang sangat mendadak dan membuat orang-orang yang menyayanginya tak percaya akan kepergiannya. Sosok yang luar biasa dan pantang menyerah, mencintai seni, dan senang menonton film. Sosok yang membuatku semangat untuk tetap mengukirkan setiap kejadian dalam hidupku sekaligus sosok yang membuatku tak ingin mengenal kuas-kuas dan pensil yang sekarang selalu mengukirkan kejadian terburuk dalam hidupku. Sosok yang pernah mengajakku untuk mengenal apa itu seni dan membuatku membenci sesuatu yang bernama seni.
     Kini segalanya kuukir dalam hati...tentang getir yang bernyanyi atau tentang perih yang menari. Biarlah semua rasa ini kunikmati sendiri, meskipun telah habis air mata ini untuk memelukmu dengan do’aku disini. Sekarang aku hanya sedang menanti waktu, waktu yang akan mengubahku untuk menerima semua kenyataan ini. Dan waktu yang akan memberikan aku sebuah kebahagiaan dan keindahan.

*****

JAKARTA
12 AGUSTUS 2011
     Hari ini adalah hari yang sangat aku tunggu. Hari dimana aku dan Radith akan menghabiskan waktu untuk berdua. Berkeliling kota tua yang sangat indah dan bersepeda di sekitar Monumen Nasional. Hari ini aku menggunakan dress berwarna ungu peach dengan rambut yang aku biarkan terurai dan Radith menggunakan kaos berwarna putih dengan celana yang hampir selutut.
     “ Kamu Indah”. Begitulah kata yang keluar dari mulut Radith saat pertama melihatku.
     “ Terimakasih Dith, kamu lebih indah”. Kataku tersenyum.
     “ Oh ya hari ini kita jadi kan ke Kota Tua Sha?” Tanya Radith.
     “ Jadi dong Dith, masa iya nggak jadi. Kita kan udah buat jadwal ini dari seminggu yang lalu”. Jawabku. Radith hanya tersenyum simpul. Wajahnya memberikan raut muka yang datar. Tapi aku sudah terbiasa dengan sifatnya yang seperti itu. Sangat dingin.
     “ Eh Sha tunggu dulu ya, aku mau bawa alat-alat melukis aku. Kan sayang kalau kita datang ke Kota Tua tapi kita nggak mengabadikannya dalam sebuah gambar”. Sahut Radith lalu berlari menuju rumahnya.
     Radith sangat senang melukis atau menggambar. Dan Kota Tua adalah tempat dimana Radith selalu membuat tangannya menari diatas hamparan berwarna putih bersih dan terkadang berwarna putih pucat. Entah berapa banyak gambar yang telah dia buat di Kota Tua. Dimulai dari sudut-sudut kecil di Kota Tua sampai Museum Fatahillah yang memberikan kesan klasik namun indah.Tidak hanya sudut-sudut yang ada di Kota Tua, Radith pernah melukiskan sosok aku yang sedang memotret Kota Tua dengan sebuah kamera kecil. Lukisan itu Radith berikan sebuah bingkai berwarna merah marun dengan bertuliskan namaku. Dan lukisan itu dia berikan padaku saat aku merayakan ulang tahunku di bulan desember tahun lalu. Lukisan yang sangat indah.
*****
     Radith mengayuh sepedanya sangat cepat. Aku mengikutinya dari belakang. Laki-laki itu sangat kuat, sampai-sampai aku tak mampu untuk mengejarnya.
     “ Radithhhhhh pelanin dikit”. Teriakku masih dengan mengayuh sepeda berwarna putih milik kakak Radith yang aku pinjam. Tapi Radith tak menghiraukan teriakanku, dia terus mengayuh sepedanya dan berhenti dekat halte busway Kota yang berjarak beberapa ratus meter dariku. Aku sudah tidak mampu untuk melanjutkannya dan aku putuskan untuk menuntun sepedaku. Dan sampailah aku ke tempat
Radith berada.
     “ Ya ampun Marsha segitu aja kamu udah nyerah, liat aku dong Sha”. Ledeknya sambil mengeluarkan alat-alat melukis miliknya.
     “ Yaiyalah Dith, akukan cewek, sedangkan kamu cowok. Badan aku aja kecil begini gimana aku bisa nyusul kamu ”. Keluhku.
     “ Ah payah!” katanya pelan.
     Aku seketika terdiam. Menahan rasa lelah yang mengganjalku. Tapi Radith? Dia seperti tidak lelah sedikitpun. Setelah beres memarkir sepedanya, dia langsung membereskan alat-alat melukis miliknya di dekat orang yang sedang melakukan pantonym. Entah berapa banyak gambar yang telah Radith buat tentang orang yang sedang berpantonym itu. Sebulan yang lalu Radith baru saja melukis pria pantonym itu.
     “ Dith, kamu nggak bosen ngelukis orang itu?” Tanyaku
     “ Buat apa aku bosen kalau ini adalah lukisan terakhir yang bisa aku buat tentang laki-laki itu”. Jawabnya singkat sambil tetap fokus dengan objek yang dia lihat.
     “ Maksud kamu Dith? Lukisan Terakhir?”. Tanyaku penuh rasa bingung.
     “ Iya Sha lukisan terakhir. Bisa aja kan nanti aku nggak bisa ngelakuin hobby aku yang ini. Kita nggak tau Sha apa yang waktu punya untuk kita. Jadi kita jalanin aja hidup ini dengan sewajarnya. Aku nggak peduli berapa banyak gambar yang aku punya tentang laki-laki itu, yang penting aku puas dengan apa yang udah aku lakuin. Hidup ini  indah”. Jawabnya. Jawaban Radith benar-benar membuat aku bingung.
     “Aku bener-bener bingung deh Dith, apa sih yang kamu bicarain? Aku nggak ngerti”. Sahutku masih dengan tanda tanya besar di benakku. Selalu. Radith selalu menggantungkan pernyataannya dan membuatku selalu bertanya apa maksud dari pertanyaannya itu.
     “ Kamu nggak perlu ngerti apa yang aku bicarain. Yang penting Live everyday as if it your last.” Jawabnya Aneh.
     “ Kamu itu bener-bener ngaco Dith! Hidup kamu itu masih panjang, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu”. Tukasku dengan nada yang sudah agak meninggi.
     Radith hanya tersenyum dan masih tetap fokus dengan objek yang sedang dilihatnya. Aku masih tidak mengerti apa maksud Radith. Hari terakhir? Lukisan terakhir? Apa maksudnya?  Apa benar lukisan itu akan menjadi lukisan laki-laki pantonym terakhir yang dibuat Radith? Daun menggantung di udara dan air seperti sebuah berlian yang tak jelas. Dan Radith, dia selalu menggantungkan apa yang dia bicarakan. Seperti sebuah lingkaran yang tidak pernah menemui akhir. Radith tidak pernah mempunyai akhir untuk seiap perkataannya.
Semoga ini bukan pertanda untuk sebuah kepergian.
*****
     GARUT
     02 SEPTEMBER 2011
     Hari ini akan menjadi hari yang sangat membahagiakan untuk Radith. Hari ini Radith akan merayakan ulang tahunnya yang ke tiga belas tahun. Di hari ini juga Radith akan mengikuti kejuaran menggambar tingkat Kota se-Jakarta Pusat. Terlalu banyak harapanku untuk Radith pada hari ini. Panjang umur, Bahagia, Menjadi semakin dewasa, dan tentunya Radith semakin sayang padaku dan keluarganya. Satu lagi, dia akan berubah. Menyelesaikan setiap perkataan yang terlontar dari mulutnya. Amin. Ponselku berbunyi, tanda sms masuk. Itu adalah sms dari Radith.
     Bonjour moncier Marsha, kamu tau apa yang aku dapetin hari ini? Aku dapat juara menggambar tingkat kota sayang, dan itu tandanya aku akan mewakili kota jakarta pusat ke tingkat provinsi se-DKI Jakarta. Ini bener-bener hari yang paling membahagiakan buat aku meskipun kamu nggak ada disini. Tapi aku yakin kamu selalu berdo’a untuk aku moncier. O ya, nanti setelah perlombaan se-DKI Jakarta aku bakal pindah, Ke Garut. Aku akan segera mengurus surat-surat kepindahanku kesana. Nanti kita bisa bareng-bareng lagi kayak bulan lalu. Sampai ketemu belle. Aku sayang kamu.
     Ini bener-bener kejutan untuk aku. Radith akan pindah bersekolah ke Garut. Tuhan memang baik, dia tidak mau aku berjauhan dengan Radith. Aku bener-bener nggak sabar untuk itu. Ini sebuah keajaiban.
     Bonjour monsieur, selamat ya atas keberhasilan yang kamu raih hari ini. Pertahankan sayang! O ya, selamat ulang tahun yang ke tiga belas sayang, do’aku selalu yang terbaik untuk kamu. Maaf aku nggak bisa ada disana sayang, tapi disini aku nyiapin kejutan yang istimewa untuk kamu. Aku selalu nunggu kamu disini sayang. Je T’aime.
     Berita tadi adalah sebuah moodbooster untukku. Radith selalu menyiapkan kejutan yang indah. Termasuk dengan kepindahannya kesini. Sangat istimewa. Aku akan menunggu hari iu tiba, hari dimana Radith akan tinggal disini. Sebuah kota kecil di Provinsi Jawa Barat. Kota yang memiliki banyak keindahan dan kesan menyenangkan untuk setiap orang yang datang padanya. Garut. Welcome Radith.
*****
     Hari ini aku akan pergi bersama Marchell, adikku. Kami berdua akan pergi untuk membeli perlengkapan untuk kejutan kedatangan Radith nanti. Rencananya kami berdua akan membuat kejutan disebuah rumah pohon di kaki gunung. Rumah pohon itu bernama RaMa, Radith dan Marsha. Rumah pohon itu Aku dan Radith yang buat, dengan dibantu Paman dan Marchell. Radith pasti sangat senang berada disana nanti. Karena Rumah pohon itu memiliki sejuta cerita tentang kita berdua. Tapi sayang, rumah pohon itu sudah tak terawat semenjak Radith memutuskan untuk pindah ke Jakarta, dulu.
     “ Kak, kita mau beli apa saja buat ka Radith?”. Tanya Marchell yang sudah berdiri tepat disampingku.
     “ Apa saja Chell, yang penting semua itu berhubungan dengan seni dan bintang. Nanti kita hias rumah pohonnya dengan bintang-bintang kertas yang indah”. Jawabku.
     “ Bintang kertas? Itu susah banget kak bikinnya”. Keluh Marchell.
     “ Tenang aja Marchell, nanti Kak Marsha yang bikinnya. Kamu cukup menempelkannya” Ucapku dan berlalu meninggalkan Marchell yang sedang memilih alat-alat seni untuk Radith.
     Radith juga sangat menyukai bintang kertas. Moodnya akan menjadi lebih baik jika dia melihat bintang kertas itu. Bahkan dia ingin seperti bintang yang menyinari malam yang gelap ini. Tapi sayang, jutaan bintang di langit masih dapat dikalahkan oleh satu sinar matahari.Radith juga pernah berkata, ia ingin seperti bintang sirius. Seburuk apapun cuaca disana, bintang sirius tetap memancarkan sinar. Tapi bukankah bintang sirius itu mudah redup? Entahlah, terserah dia. Yang penting dia merasakan kebahagiaan.
     “ Kak, memangnya kak Radith kapan sih pindah kesini? “ Tanya Marchell.
     “ Nggak tau. Secepatnya.” Jawabku.
     “Oh. Eh kak, emang kakak sayang banget ya sama dia sampai-sampai kedatangannya harus disambut dengan pesta. Walaupun itu pesta kecil-kecilan”. Tambahnya.
     “ Yaiyalah Kakak sayang sama dia. Gimana nggak, Radith itu satu-satunya cinta yang aku kenal dari kecil. Setelah Ayah, Bunda, dan Kamu”. Tukasku
     “Oh gitu ya” Katanya dengan wajah ternganga.
     “ Iya adik bawelku” Kataku sambil mencubit pipinya yang seperti bapau itu.
*****
GARUT
12  SEPTEMBER 2011

     Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan untukku. Radith akan datang kesini. Radith akan ada disampingku. Radith akan menemani hari-hariku yang kosong. Radith akan selamanya bersamaku. Tak akan ada jarak ratusan kilometer yang memisahkan kita. Tak akan ada kata Long Distance Relationship yang menyebalkan. Tak akan ada
rasa khawatir dan curiga jika kita berjauhan. Selamat tinggal jarak ratusan kilometer Garut-Jakarta yang menyusahkan.
     “ Marsha, Radith jadi datang kesini?” Tanya Bunda yang sedang menonton acara favoritnya di TV.
     “ Jadi Bun, ini Marsha mau telepon dia” Jawabku
     “ Oh ya sudah, kalau dia sudah datang kabari Bunda” Sahutnya.
     “ Siap Bun” Kataku sambil berlari menuju halaman belakang rumahku.
     Aku berusaha menghubungi Radith dengan ponsel milikku. Semua ini aku lakukan untuk meyakinkan bahwa Radith akan kembali disini. Tapi tidak diangkat....Lima menit berlalu masih tetap saja. Radith tidak mengangkat teleponku. Jahat sekali dia. Padahal aku hanya ingin memastikan keputusannya beberapa hari yang lalu. Apa aku mengganggu kegitan packingnya.
     Drrrrtttt....Drrrrrttt.....Drrrrrtttt....Ponselku berbunyi. Itu bukan Radith. Tapi Tante Ina, Mamanya Radith. Kecewa.
     “ Hallo Tan”
     “ Hai Marsha, apa kabar?”
     “Baik tan, tante apa kabar? Sekarang jadikan kesini?”
     “ Alhamdulillah sayang tante baik. Jadi. Tapi nanti sore, soalnya Radith mau melukis dulu di tempat favoritnya”
     “ Dimana? Kota Tua?”
     “ Iya sayang. Ini kita lagi di Kota Tua. Dia lagi bikin sketsa wajah kamu tuh”
     “ Yang bener tan? Wah asyik banget dibikinin sketsa sama Radith. Yeay!”
     “ Seneng banget kayaknya”
     “ Hehe”
     “ Eh Sha udah dulu ya, itu Radithnya manggil. Sampai ketemu diana ya”
     Tuuuuut....tuuuttttt....tuuutttt.... Telepon pun terputus. Ternyata Radith bukan membiarkanku. Dia sedang membuatkan sketsa untukku di Taman Kota. What a romantic person he is. Dia selalu buat aku bahagia meskipun kita berjauhan. Terhalang oleh ratusan kilometer yang menyusahkan ini. Till we meet again monsieur Radith, gumamku lirih.
*****
     Jam sudah menunjukan pukul tiga sore. Tapi Tante Ina dan Radith tidak menghubungiku lagi. Perasaanku berubah menjadi aneh. Khawatir, gelisah, dan benar-benar tidak terkendali. Apa yang sebenarnya terjadi? Mungkin perasaan ini ada hubungannya dengan kupu-kupu hitam yang menari-menari di dekat gorden kamarku. Kupu-kupu itu seperti tersesat dan kesulitan untuk mencari jalan keluar. Dan apakah perasaan ini adalah sebuah firasat? Firasat yang tidak menyenangkan. Pertanda apa ini? Apa sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada Radith? Nggak. Radith nggak kenapa-kenapa. Dia baik-baik saja.
     Kupandangi jendela kamarku yang penuh dengan butiran-butiran air hujan yang turun. Perasaanku benar-benar aneh. Malah semakin aneh dan menjadi-jadi. Tak lama kemudian Aku mendengar Suara sirine ambulance yang semakin lama semakin terdengar jelas. Dan Lampu sirine yang menyala semakin terlihat jelas. Sangat dekat. Kenapa ambulance itu berhenti tepat di depan rumah Radith. Jelas saja rumahnya kosong. Tidak lama kemudian aku melihat Tante Ina dan Om Fadly keluar dari ambulance itu tanpa Radith. Kemana Radith? Dan siapa seseorang yang terbujur kaku di dalam kantung berwarna kuning itu. Tentu saja itu bukan Radith. Tapi kalau itu bukan Radith, lantas dimana Radith berada?
    
     Aku segera berlari menuju Rumah Radith lalu mendekati Tante Ina yang menangis terisak. Wajahnya pucat, matanya sembab dan merah.
     “Tante ada apa ini? Siapa yang meninggal”. Tanyaku heran
     Tante Ina tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya terdiam dan masih menangis. Entah apa yang ia tangisi sampai-sampai dia menangis histeris seperti itu. Tanpa aku sadari, air mataku perlahan terjatuh. Aku tak mengerti apa yang terjadi padaku. Mengapa aku menangis?
     “ Om siapa yang meninggal? Terus Radith mana?”. Tanyaku pada om Fadly yang masih berusaha meredakan tangis pada Tante Ina.
     Aku benar-benar kaget dengan seseorang yang terbujur kaku dalam kantong berwarna kuning itu. Dia Radith. Ini nggak mungkin. Radith belum pergi. Itu cuman pura-pura. Radith Masih ada, tapi dimana?
     “ Om itu Radith?” Tanyaku sambil mencoba menahan air mata ini.
     “ Iya Sha”
     “ Nggak mungkin. Radith kamu cuman becanda aja kan? Bangun Dith, bangun. Becandanya kamu nggak lucu banget” Kataku pada Radith yang benar-benar sudah terbujur kaku dengan muka yang sangat pucat. Radith tidak menjawab. Dia masih diam.
     “ Dith ngomong dong. Kamu becanda kan? Kamu jangan pergi Dith. Aku udah siapin kejutan buat kamu. Ayo Radith bangun.” Kataku dengan tangis yang semakin histeris.
     “ Marsha, Radith udah nggak ada. Percuma kamu bangunin dia, dia nggak akan pernah bangun lagi. Dia udah tidur dengan tenang”. Katak Om Fadly sambil meraihku untuk bangkit.
     “ Kenapa Om? Kenapa Radith pergi? Dia kan anak yang sehat?”
     “ Sebenarnya Radith bukan anak yang sehat. Dia sudah lama mengidap kanker otak. Dia selalu menahan rasa sakitnya karena dia nggak pernah mau liat orang yang ada disekitarnya khawatir. Dan tadi di Kota Tua, Radith merasakan Sakit Yang luar biasa saat dia mencoba untuk membereskan sketsa wajah kamu. Sebenarnya Om sudah larang dia untuk melakukan kegiatan melukisnya sejak lama, tapi dia nggak pernah nurut. Dan akhirnya sekarang berakibat fatal” Tukas Om Fadly yang masih mencoba tegar dengan kepergian Radith.
     Aku benar-benar tak percaya. Anak sekuat dan setangguh Radith ternyata menahan rasa sakit yang luar biasa sejak lama. Tapi kenapa aku tidak pernah tau dengan kesakitan yang Radith sembunyikan. Dan kenapa aku tidak pernah faham dengan semua keanehan yang terjadi di Kota Tua sebulan yang lalu. Saat dia melukis laki-laki yang sedang berpantonym itu. Kenapa aku tak pandai melihat ekspresi Radith yang berbeda itu. Kenapa? Radith, sekarang aku cuman ingin satu hal jika kamu memang benar-benar sudah pergi.Aku hanya ingin pertanyaanku tentang kenapa bisa terjawab. Kenapa dari setiap detik yang aku lewatin bersama kamu, aku baru tau kamu merasakan sakit yang luar biasa saat kamu benar-benar sudah pergi? Kenapa?
*****

2013
     Dua tahun sudah berlalu. Aku nggak pernah tau berapa banyak air mata aku jatuh untuk menangisi Radith. Dan aku nggak pernah tahu berapa lama waktuku habis untuk menangisi kepergian Radith. Karena Radith aku merasakan jutaan warna indah dalam setiap goresannya. Dan Karena dia juga aku merasakan tiga warna menyebalkan. Hitam, putih, dan abu-abu. Hidupku sekarang sudah tidak seindah dulu. Aku membenci seni yang membuat Radith pergi untuk selamanya. Dan aku benar-benar tidak pernah ingin mengenal semua yang berhubungan dengan seni.
     Entah berapa banyak alasan yang aku keluarkan saat pelajaran seni budaya hadir dalam seminggu sekali. Aku benar-benar membencinya. Aku tak ingin melihatnya apalagi untuk mempelajarinya. Terutama seni rupa. Aku benci gambar, aku benci kuas, aku benci crayon,  aku benci semua hal yang berhubungan dengan seni.
*****
     “ Sha, kok setiap pelajaran seni budaya kamu nggak pernah masuk?”. Tanya Raka, temanku.
     “ Aku benci seni”. Jawabku singkat.
     “ Loh kenapa? Seni itu indah lho sha.”
     “ Buat aku seni itu bencana. Gara-gara dia, aku kehilangan orang yang sangat berarti di hidup aku”
     “ Radith? Sampai kapan kamu akan menyesali kepergian Radith? Dan sampai kapan kamu akan menyalahkan seni? Semua itu skenario Tuhan
, marsha. Kamu nggak boleh kayak gini”
     Aku Terdiam. Benar apa kata Raka, kepergian Radith itu adalah takdir yang telah
ditentukan Tuhan. Tapi kenapa aku masih bersikeras jika semua itu terjadi karena Seni. Seandainya sekarang ada orang yang membantuku untuk membuat yakin bahwa seni itu memang benar-benar indah. Radith menyukai seni, lalu kenapa aku begitu membencinya.
     “ Sini deh, sek
arang aku mau kamu nyoba buat gambar. Kalau kamu terus benci seni, hidup kamu nggak bakal indah, Marsha.” Kata Raka sambil memberiku sebuah kuas yang sudah berwarna merah. Aku menggeleng. Aku tak ingin melakukannya. Semua ini masih terasa berat. Aku belum siap untuk mencintai seni.
     “ Titik saja
, Marsha. Ayo” katanya lagi.
     Akupun berusaha untuk menggerakan tanganku yang kaku ini. Kuas yang aku pegang sudah mencapai kanvas di hadapanku. Tapi tangan ini tidak mau memberikan warna pada kanvas itu.
     “ Sini deh aku bantuin” Kata Raka sambil meraih tanganku. Dia membantuku membuatkan sebuah titik.
     Mataku terpejam. Aku tak sadar bahwa hatiku bergetar saat Raka memegang tanganku. Dan aku tak sadar bahwa titik-titik di hadapanku sangat indah. Ku palin
gkan pandanganku pada Raka, dia tersenyum padaku. Sangat manis.
     “ Nah sekarang kamu udah nggak takut menggambar lagi kan?”
    
     Aku mengangguk. Ini benar-benar keajaiban. Titik-titik keindahan tercipta saat hati tidak menginginkannya. Titik-titik keindahan tercipta saat aku mulai menutup hatiku. Selamat datang titik warna terindah dalam hidupku, Raka. Kamu telah menyihir semua warna menyebalkan itu. Dan Radith, dia pasti bahagia melihatku seperti ini. Tidak membenci apa yang dia cintai, seni.

    

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana ku Tak Jatuh Cinta

PROTES KERAS TERHADAP PENIPUAN YANG MENYALAHGUNAKAN KARTU IDENTITAS SAYA

Kebersamaan Yang Tiada Akhir